Kliksaya
Supported by
Di penghujung tahun masehi 2007, dunia dikejutkan oleh berita tewasnya pemimpin oposisi Pakistan
Benazir Bhutto, yang ditembak oleh seorang penyerang dan kemudian sang penyerang melakukan aksi bom bunuh diri di tengah kerumunan para penggemarnya, Kamis sore (27/12).
Gedung Putih langsung berkabung. Presiden AS George Bush dengan penuh emosional menyampaikan duka cita rakyat Amerika atas kepergian salah seorang sekutunya yang sesungguhnya ingin dijadikan pemimpin baru di Pakistan menggantikan Pervez Musharraf yang dianggapnya sudah tidak bisa lagi seratus persen dikontrol Gedung Putih.
Walau secara resmi Benazir Bhutto beragama Islam, namun dalam kesehariannya sejak kecil hingga menemui kematiannya, Benazir jauh dari nilai-nilai agama yang dianutnya. Bahkan sesaat sebelum dirinya menemui ajal, Bhutto baru saja menyampaikan pidato dalam rapat akbar bersama dengan pendukungnya dan menegaskan, jika dirinya berhasil menjadi pemimpin Pakistan kembali, maka dia akan langsung memimpin pemberangusan gerakan Islam di seluruh Pakistan. Benazir Bhutto menyebut gerakan Islam dengan istilah “Terorisme Fundamentalis”, sebuah terminologi khas Gedung Putih.
“Apakah kita harus meminta orang asing untuk memberangus gerakan fundamentalis di sini? Tentu tidak! Kita akan bersama-sama, aku dan kalian semua, untuk menghabisi kelompok-kelompok fundamentalis yang mendirikan pemerintahan bayangan di Pakistan ini! Kita pasti bisa!” seru Bhutto dari atas podium hanya beberapa saat sebelum dia menemui ajal dengan cara mengerikan.
Ratu Dugem dan Playgirl
Secara resmi, Benazir Bhutto dibesarkan dalam keluarga Islam. Ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto adalah Perdana Menteri Pakistan yang tewas digantung oleh Presiden Zia Ul-Haq setelah jenderal ini melancarkan kudeta. Zia sendiri karena sikap politiknya dinilai AS terlalu mengakomodasi kepentingan gerakan Islam, maka CIA membunuhnya lewat suatu operasi rahasia dengan meledakkan pesawat yang ditumpanginya.
Benazir oleh keluarganya di sekolahkan di sebuah yayasan Katholik ala Inggris di Pakistan. Saat usia 16 tahun, Benazir yang tidak mengenakan jilbab disekolahkan ke Radcliffe College di Massachusset, AS. Saat kuliah di Amerika ini, Benazir benar-benar mereguk kebebasan yang tidak bisa dijalaninya di Pakistan. Ia dikenal sebagai seorang gadis yang gemar belanja pakaian yang tengah trendy dan suka bepergian ke pesta-pesta di malam hari dan pulang dengan ditemani pemuda teman kencannya hingga hari beranjak siang.
Dari Amerika, Benazir melanjutkan pendidikannya di Oxford, Inggris, mengambil jurusan Ilmu Hukum dan Politik. Di Inggris gaya hidupnya makin menggila. Benazir termasuk mahasiswa pandai, namun gaya hidupnya juga “meriah”: pesta dugem jalan terus, alkohol dengan setia terus menemani (walau hal ini sempat dibantahnya), juga suka gonta-ganti teman pria. Media Inggris, Dailymail, edisi Jumat (28/12) mengungkapkan sisi gelap kehidupan Benazir dari seorang teman lamanya semasa kuliah di Oxford. Dailymail sendiri menyebut Benazir sebagai “The Oxford Party Girl”.
“Gaya hidup Benazir ketika kuliah di Oxford menjadi parody seorang gadis remaja Muslim, kaya raya, baru melek melihat dunia. Saat dia berpidato dalam kampanye untuk pemilihan Presiden Senat di Oxford, Benazir bahkan mengungkapkan gaya hidupnya yang liberal itu untuk menarik dan mendulang suara dari para pemilih laki-laki, ” demikian Dailymail.
Gaya hidupnya agak berkurang ketika ayahnya tewas di tiang gantungan. Benazir masuk gelanggang politik dengan mengenakan kerudung, sesuatu yang tidak pernah dipakainya ketika di Amerika dan di Inggris. Namun walau berkerudung, sikap politik Benazir sangat American-minded. Dia menjadikan dirinya musuh bagi aktivis Islam di Pakistan dan sahabat setia bagi Amerika.
CIA Dalangnya?
Tidak aneh jika kematiannya ditangisi banyak tokoh-tokoh liberal. Bush pun langsung menuduh kematian Benazir dilakukan oleh terorisme fundamentalis. Padahal penyelidikan saja belum dimulai. Ada banyak dugaan tentang siapa sesungguhnya dalang di balik kematian Benazir. Bisa saja memang dibunuh anggota gerakan Islam, walau yang pertama ini relevansinya sangat meragukan karena tidak ada manfaatnya. Bisa dibunuh oleh Prevez Musharraf sendiri seperti yang banyak ditegaskan oleh para pendukungnya di Pakistan. Atau bahkan bukan mustahil CIA berada di belakang kematiannya.
Bukan tidak mungkin, kematian Benazir memang dirancang jauh hari untuk semakin mengacaukan Pakistan dan menjadikan salah satu negeri Islam terbesar dunia ini pecah dan berkeping-keping. Bukankah di awal tahun 2000-an pernah terendus sebuah dokumen AS yang ingin melenyapkan Pakistan dan Indonesia di tahun 2025?
Dokumen dari hasil kajian strategis yang dipimpin mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat berdarah Yahudi bernama William Cohen, berjudul “Asia Tahun 2025 dan Pengaruhnya terhadap Keamanan Nasional Amerika di Abad 21” dengan tegas memprediksi (baca: menskenariokan) Indonesia dan Pakistan akan hilang dari peta bumi di tahun 2025. Penyebab dari ‘tenggelamnya’ kedua negara tersebut adalah karena konflik internal atau konflik antar suku, golongan, klan, atau agama, separatisme, dan untuk itu semua sebagai syarat mutlaknya adalah ketidak-stabilan ekonomi. Kajian tersebut meramalkan bahwa dalam 25 tahun ke depan, akan terjadi peristiwa berskala besar dan internasional yang akan sangat mempengaruhi keamanan nasional Amerika Serikat.
Amerika sangat berhasrat untuk menguasai Pakistan karena negeri ini memiliki instalasi nuklir. Sedangkan Indonesia, ya kita tahu sendirilah.
Kematian Benazir Bhutto merupakan hal yang amat lumrah dalam dunia politik. Di Indonesia pun ada tragedi Munir yang meninggal karena diracun oleh tangan-tangan kekuasaan. Jadi peristiwa ini sama sekali tidak perlu dibesar-besarkan atau bahkan ditangisi. Biasa sajalah.(Rizki)
Label: UMUM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Comment Form under post in blogger/blogspot