Kliksaya

Selamat Tinggal bang Gito

Gito Rollies Kembali pada-Nya

Katagori : Domestik
Oleh : Redaksi 29 Feb, 08 - 5:00 pm

imageGito Rollies, rocker senior yang belakangan lebih dikenal sebagai dai, menghembuskan napas terakhir kemarin (28/2). Ia wafat saat mendapat perawatan intensif di ruang ICU RS Pondok Indah, Jakarta. Sampai sekitar pukul 21.45 WIB, jenazah masih disemayamkan di rumah duka di Jalan Mabad II No. 18, Rempoa, Ciputat, Tangerang.

Adrie Subono, sahabat Gito, mengatakan bahwa penyanyi yang juga bintang film itu masuk ruang ICU sejak Rabu (27/2). Sebelumnya, Gito sempat ke rumah sakit, namun diperbolehkan pulang. Namun di rumah, anfal dan langsung dilarikan ke ICU. ''Ia mengalami pendarahan,'' kata promotor artis-artis asing ini. Atas kepergian sang sahabat, Adrie mengaku sangat kehilangan.
( simak streaming Kembali Kepadanya ) )

Sahabat lain Gito, Rano Karno, aktor yang kini menduduki kursi Wakil Bupati Tangerang, menuturkan ia menjenguk Gito. "Saya bilang; istirahat dan banyak istighfar. Saat mau shalat maghrib saya dikabari isterinya kalau Gito wafat," ungkap Rano, saat melayat di rumah duka, semalam. Selain Rano, pelayat lain terlihat sejumlah selebriti antara lain Sys NS, Camelia Malik, dan Melly Goeslow.

Sejak mengidap kanker kelenjar getah bening pada 2005, Gito pernah menjalani perawatan intensif di salah satu rumah sakit di Singapura, tiga tahun silam. Hampir tiga kali dalam sepekan, musisi bernama asli Bangun Sugito ini harus menjalani kemoterapi.

Sejak saat itu, ia nyaris absen dari pentas hiburan di Tanah Air. Baru pada 2007, dia meluncurkan album ''Kembali pada-Nya''. Sebuah album religi yang judulnya menjadi jalan hidupnya kini.

Pada ulang tahunnya ke-60, November 2007, Gito muncul di depan umum dan tampak segar. Bukan sebagai penyanyi, melainkan untuk berdakwah di hadapan jamaah masjid di kawasan Cinere, Depok.

Kegiatan utama Gito belakangan memang berdakwah. Namun, baginya, dakwah bukanlah profesi. ''Profesi saya, ya, menyanyi. Melalui nyanyian, saya mengajak siapa saja untuk lebih mengenal rahman dan rahim-Nya.'' Bintang film Kereta Api Terakhir itu tampil terakhir kali di depan publik pada awal Februari ini. Saat itu, lelaki kelahiran Biak, Papua, 1 November 1947, itu tampil berkursi roda membacakan puisi karya Ketua Umum PP MUhammadiyah, Din Syamsuddin, dalam Konser Gerak Hijrah Bermarwah di Jakarta.

(akb )

SELAMAT JALAN KANG GITO...
imageKetika saya mendengar berita wafatnya Gito Rollies melalui pengumuman yang disampaikan Eko Patrio dalam acara Superstar di Indosiar malam ini, saya sama sekali tidak kaget karena [29:57] Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. Lagipula sekitar 2 tahun yang lalu Gito Rollies memang sudah divonis terkena Kanker getah bening dan terlihat kondisinya makin lama makin menurun. Saya juga tidak begitu takjub ketika melihat reaksinya menghadapi penyakit tersebut :”Hilang sudah kesombongan dan keangkuhan saya selama ini, penyakit ini saya terima untuk menggugurkan dosa-dosa yang telah saya perbuat.”, demikian kurang lebih tanggapannya beberapa tahun yang lalu.

Sosok Gito Rollies selalu menjadi idola yang menginspirasikan saya, baik ketika dia berlaku ‘urakan’ sebagai rocker ditahun 70’an, maupun ketika berobah total menjadi seorang insan yang bertaubat dan berusaha mendekatkan dirinya kepada Allah. Saya ingat ketika ‘masa-masa jahiliyah’ saya dulu di SMA dan perguruan tinggi, saat saya meniru-niru gaya kelompok musik The Rollies yang jantan, macho dan sangar di atas panggung, lengkap dengan atribut kaos buntung dan sarung-tangan berpaku. Lagak bicara sok cuek dan seenaknya seolah tidak ada yang bisa membatasi. Celakanya lagak dan gaya tersebut tidak saya pakai ketika saya bermusik karena memang saya tidak bisa main musik, tapi dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

imageSekitar tahun 2001, saat itu saya mengajak istri dan anak-anak jalan dan berolah-raga minggu pagi di Senayan, kami melihat Gito Rollies keluar dari lapangan softball, kelihatannya dia barusan selesai memberikan ceramah disana, gayanya sangat berbeda, pakai baju ‘Pakistani’ dan menenteng rangsel kain, pakai kopiah Turki dan berjanggut. Selanjutnya inipun menginspirasikan saya untuk berbuat serupa, saya juga mulai memelihara janggut dan mulai sering memakai baju muslim (katanya), kadang berbaju taqwa, dilain waktu memakai baju gamis dan itu saya pakai dalam setiap keadaan, baik ketika ke mesjid maupun jalan-jalan di mall. Saya pernah membaca wawancaranya ketika Gito ditanya mengapa memakai pakaian model demikian dan dia menjawab bahwa itu bisa berfungsi sebagai ‘pagar’ atau ‘tembok’ agar dia tidak gampang kembali kejalannya yang sesat dahulu. Itupun bisa saya terima ketika saya melakukan hal yang sama, memang terasa sangat berat untuk mendekati kemaksiatan atau kelakuan yang ‘aneh-aneh’ ketika saya mengenakan baju tersebut.

Bagaimana cara kita memberikan penilaian terhadap jalan hidup Gito Rollies yang berliku tersebut..??, Seorang mualaf kulit putih di Amerika Serikat mengungkapkan penafsiran tentang kehidupan sesuai apa yang diajarkan Al-Qur’an :



“Kita sudah melihat bagaimana Al-Qur’an menggaris-bawahi kemampuan belajar manusia dan nilai pelajaran dalam pertumbuhan moral spiritual manusia. Bahwa manusia akan khilaf dalam memilih, memang tidak bisa dielakkan. Akan tetapi Tuhan, menurut Al-Qur’an, TIDAK MENGHARAPKAN KITA MENJADI SEMPURNA. Sebagai gantinya, Dia menganugerahi kita dengan kemampuan untuk belajar dan mengambil hikmah dari kekeliruan-kekeliruan kita. Al-Qur’an mengingatkan tentang bahaya dosa, tapi juga menjelaskan bahwa jika seseorang menyadari kesalahan-kesalahannya, bertobat dan beriman dan kemudian beramal saleh, maka Tuhan akan mengubah amal-amal destruktif yang telah dilakukannya menjadi menguntungkan :

[25:70] kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Bahkan Malaikatpun Bertanya, Jeffrey Lang, PT. Serambi Ilmu Semesta)

Dengan tulus tentu saja saya berdo’a agar Gito Rollies telah mengakhiri hidup ini dengan ‘khusnul khatimah’ – menjalani akhir yang baik – dan ketika dia berpindah kepada kehidupan berikut, semua dosa-dosanya ‘sudah dibereskan’ di dunia ini, dan apa yang dibawanya semata-mata hanyalah pahala yang bisa diterima disisi Allah. Entah terinspirasi atau tidak, akhir-akhir ini saya juga sering meminta dan berdo’a kepada Allah disetiap waktu, agar apapun dosa yang telah saya lakukan cukuplah Allah menyelesaikannya di dunia ini saja, apapun cara yang akan ditimpakan Tuhan buat saya, tentunya tidak lupa saya juga meminta agar Allah melimpahkan kekuatan buat saya untuk menghadapi ‘proses penghapusan dosa’ tersebut dengan tabah dan sabar, karena itu hanya bisa saya lakukan semata-mata atas pertolongan-Nya. Saya juga berharap ketika waktunya sudah sampai kelak, yang tinggal hanyalah amal baik dan pahala yang bisa diterima Allah, itulah bekal yang saya bawa kepada kehidupan berikut.

Apa yang harus kita ucapkan atas kepergian Gito Rollies..?? kita biasanya mengucapkan :’Selamat jalan Kang Gito…” Islam mengajarkan kalimat yang indah untuk mengantarkan kepergian seseorang menuju Tuhannya :

"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun”
(Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kita kembali…)

archa


BELAJAR DARI KANG GITO
imageSiapa yang tidak kenal kang Gito Rollies ?, eksistensinya di dunia musik Indonesia yang begitu lama, sejak tahun 70’ an sampai sekarang membuat dia dikenal oleh lintas generasi, baik kaum bapak-bapak dan ibu-ibu (yang ditahun 70’ an masih menjadi kawula muda dan akrab dengan musik the Rolies, musik anak muda pada waktu itu) maupun para ABG jaman milenium sekarang sekalipun image ‘sang maestro’ tersebut sudah agak bergeser kepada sosok yang akrab dengan simbol-simbol agama Islam.

Pada mulanya, wajarnya anak muda yang punya energi berlebih, kang Gito ditahun 70’an ikut arus pergaulan, bahkan dalam beberapa hal malah menjadi simbol dari ‘gaya’ anak muda pada waktu itu, pakaian kucel dan celana jean belel ala hippies, hidup diisi dengan pesta pora dikelilingi wanita-wanita cantik, bahkan mabuk dan ‘ngeboat’ dijalaninya sebagai kegiatan sehari-hari. Kalau kita berimajinasi, seandainya kang Gito ‘konsisten’ dengan gaya hidupnya sampai sekarang, terbayang gambaran laki-laki setengah baya, lima puluhan dengan rambut keriting gondrong acak-acakan, pakai anting ditelinga kiri, umumnya selalu mengenakan baju kaos buntung memperlihatkan tato ‘metal’ dibahu. Walaupun muka sudah tergurat raut ketuaan, namun cara berbicara masih tidak kalah dengan ABG, banyak pakai bahasa gaul dan sedikit agak teler. Kalau lagi manggung terbayang gerakan-gerakan energik, loncat dan berlari dari satu ujung panggung ke ujung yang lain, sambil sesekali berteriak ‘memanasi’ penonton.

imageNamun sosok kang Gito yang kita lihat sekarang benar-benar diluar perkiraan, hampir tidak pernah kita lihat dia tidak memakai baju gamis Arab, atau model ‘Pakistani’, kopiah putih dikepala yang berambut pendek, kadang-kadang menenteng tas kain sederhana, berjenggot panjang dan sebagian sudah terlihat memutih. Bicarapun sudah tidak meledak-ledak, agak kalem, bahkan sering nyeletuk ‘ subhanallah, masya Allah, astaghfirullah’, Dan kalau lagi manggung menyanyikan lagu, lebih sering yang bernuansa ke-Islaman bahkan tidak jarang dilantunkan sambil menangis.

Ketika ditanya mengapa dia sekarang selalu bergaya ‘sangat Islami’ dan cenderung memperlihatkan simbol-simbol ‘yang kebanyakan merupakan budaya Arab, bukan suatu hal yang prinsipil dalam ajaran Islam’, menarik sekali jawabannya. Kang Gito berkisah ketika pada saat hatinya terbuka terhadap ajaran Islam, dia sebenarnya sudah mulai mengurangi kebiasaan-kebiasaan maksiatnya. Dia sudah jarang pergi ke pesta-pesta urakan, mengurangi minum-minum dan bermabok-mabokan dan ‘ngedrug’. Namun lingkungan pergaulannya yang sudah dijalaninya bertahun-tahun tidak serta merta memahami hal tersebut, selalu saja ada ajakan untuk kembali ‘tercebur’ baik datangnya dari teman yang tidak mengetahui perubahan pada dirinya maupun yang sudah tahu tapi beranggapan ini hanya ‘angin surga’ sementara. Ketika kang Gito memutuskan untuk merubah gaya pakaiannya termasuk memelihara jenggot, maka dia merasa seperti mempunyai ‘benteng’ dengan identitas barunya itu. Teman-temannya mulai segan mengajak kepada hal-hal buruk yang dulunya lumrah mereka lakukan bersama-sama, dia betul-betul merasa terlindungi. Rupanya baju gamis, pakistani, peci putih dan jenggot, secara psikologis tidak sinkron dengan kemaksiatan.

Memang kelihatan agak aneh, kalau misalnya kita melihat seorang laki-laki berbaju gamis, pakai sorban dan berjenggot ‘gaya’ ustadz Abu Bakar Baasyir, mondar mandir keluar masuk tempat-tempat maksiat di Lokasari, Mangga Besar misalnya. Sekalipun mungkin bukan bermaksud hendak melakukan maksiat, namun pastilah timbul pertanyaan dibenak pelacur maupun germo yang mangkal disana : “pakai sorban koq kesini?”. Bahkan bagi pihak yang berpakaian simbol-simbol itupun akan berpikir seribu kali untuk pergi mendekati tempat maksiat, minimal mungkin akan mengganti pakaiannya dengan pantalon, kemeja, dasi atau jas gaya Eropa, karena memang pakaian tersebut terlihat ‘nyambung' dengan tempat-tempat seperti itu. Ada pengalaman seorang teman ketika melakukan jamuan bisnis, mengajak relasinya ke sebuah karaoke. Kebetulan teman tersebut belum sempat bercukur sehingga wajahnya dihiasi jenggot agak panjang. Seperti biasa di ‘karaoke room’ mereka memesan perempuan penghibur untuk menemani dan pertanyaan pertama yang diterimanya dari perempuan penghibur tersebut adalah : “ Bapak punya jenggot koq mainnya di karaoke?”

Seribu empat ratus tahun yang lalu, Rasulullah berkata kepada para sahabat :”Hendaklah kamu memelihara jenggot”, disitu Rasul yang ummi sebenarnya berbicara tentang hal yang sangat besar, memproklamirkan suatu identitas yang secara psikologis akan memisahkan umat dari perbuatan yang dilarang ajaran Islam. Disitu Rasulullah menciptakan ‘benteng yang tidak terlihat’ yang bisa dipakai umat untuk menjaga dirinya dari ketersesatan.

Demikianlah seharusnya kita memandang ajaran-ajaran Islam, kita sebaiknya berpikir melihat sisi positifnya dan mampu memanfaatkan ajaran tersebut menjadi sesuatu yang menunjang kegiatan beragama kita. Tidak seharusnya umat Islam ‘yang sudah maju’ berpikiran apriori , seolah-olah simbol-simbol Islam tersebut adalah gambaran dari cara berpikir sempit dan ketinggalan jaman, lebih merupakan budaya Arab, tidak sesuai lagi dengan tata pergaulan modern, dan yang lebih aneh lagi, ketika kita merubah ‘baju’ dari gamis dan sorban kepada kemeja, jas dan dasi, sebenarnya kita cuma berpindah dari suatu simbol ke simbol yang lain., yang belum tentu bisa menggambarkan terpisahnya kesalehan dan kemaksiatan.

Memang dengan menunjukan identitas ke-Islaman, kita bisa tergelincir kepada ria, pamer bahkan sampai dipakai untuk menipu calon mertua misalnya (supaya kelihatan orang baik-baik), namun tentunya semuanya berpulang kepada diri masing-masing, untuk itu kita bisa belajar dari kang Gito, memakai simbol-simbol Islam ternyata membuat dia bisa selamat, kalau tidak hari ini kita masih melihat Gito Rollies sebagai seorang penyanyi urakan, berlompat-lompatan dipanggung seperti orang kesurupan, lupa bahwa umur makin tua, makin dekat ke batas akhir.


image - image
Dengarkan Nasyidnya duet bersama Opick


image - image

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Powered by    Login to Blogger